Mataram-SK, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Mataram menggelar Diskusi Virtual Ancaman Kekerasan Seksual Mengintai Jurnalis Perempuan Rabu (1/3/2023).
Menghadirkan pemateri Ketua Bidang Gender, Anak, dan Kelompok Marginal AJI Indonesia, Nani Afrida dan Peneliti Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2MEDIA), Putri Laksmi Nurul Suci dipandu Moderator dari Koordinator Bidang Perempuan, Anak dan Gender AJI Mataram Susi Gustiana menambah semarak jalannya diskusi.
Ketua AJI Mataram, Muhammad Kasim dalam sambutan menyampaikan Diskusi ini penting untuk membangun perspektif baru tentang sejauhmana batasan kekerasan seksual yang mengintai jurnalis perempuan.
Menurutnya, harus ada standar keamanan yang layak bagi jurnalis perempuan saat melakukan kerja-kerja jurnalistik di lapangan.
"Kasus kekerasan seksual ini masih dianggap tabu dan jarang dibahas. Kami dorong perusahaan pers dan Dewan pers membuat Standar Operasional Prosedur (SOP) Pencegahan, Penanganan dan Pemulihan Kekerasan Seksual," kata Cem akrab disapa.
Ia menilai, selama ini di NTB belum ada jurnalis perempuan yang berani bicara dan melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya.
Namun, tidak ada laporan kasus bukan berarti aman. Karena kekerasan seksual ini seperti gunung es, bisa terjadi dimana dan kapan saja.
"Kedepan, kami akan dorong sosialisasi SOP kekerasan seksual untuk pencegahan dan penanganan bagi jurnalis yang menjadi penyintas kekerasan seksual," jelas Cem.
Dalam paparan materi Nani Afrida, Ketua Bidang Gender, Anak, dan Kelompok Marginal AJI Indonesia mengatakan, kekerasan seksual pada jurnalis perempuan masih dianggab mitos.
Selain itu, belum ada basis data karena korban tidak mau bersuara.
Ia mengungkapkan, sebelum lahirnya SOP Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual terjadi pembahasan panjang yang dilakukan AJI Indonesia dengan mengundang para pakar yang kompeten dibidangnya.
Sempat juga ada asumsi bahwa kasus kekerasan seksual ini akan menjatuhkan martabat lembaga.
Menurutnya, kekerasan seksual bisa terjadi pada semua gender, tetapi yang paling rentan adalah perempuan.
Kekerasan bagi jurnalis perempuan adalah bentuk Ancaman bagi kebebasan pers.
"Ketika korban melapor ke redaksi Media, mereka hanya katakan yang penting kamu tidak diperkosa. Sementara hak-hak korban seperti pendampingan, pemulihan dan lainnya tidak bisa didapatkan," bebernya.
Sejauh ini, redaksi media mainstream belum memiliki SOP pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
Setelah lahir SOP, AJI Indonesia menyuarakan itu ke Dewan Pers.
Ia mendesak lembaga tersebut mampu mendorong perusahaan media melindungi jurnalis dari ancaman kekerasan seksual.
"Alhamdulillah PR2MEDIA membantu kita riset data. Kita tercengang dengan hasil riset itu ternyata ada 82,6 persen dari 852 responden pernah alami kekerasan seksual," ungkap Nani.
Setelah hasil riset dirilis sambungnya, AJI Kota Mataram yang pertama kali mengadakan diskusi seperti ini.
"Saya apresiasi teman-teman AJI Kota Mataram, tetap semangat," ucap Nani.
Sejauh ini, Dewan Pers sudah setuju dengan komitmen yang sama untuk mendorong perusahaan pers membuat SOP.
Bahkan AJI Indonesia akan menjalin kerjasama dengan Komnas Perempuan dan LPSK untuk pendampingan dan perlindungan korban kekerasan seksual.
Sementara itu, peneliti PR2MEDIA Putri Laksmi Nurul Suci dalam paparan hasil riset menyampaikan, 82,6 persen dari 852 responden mengaku pernah mengalami kekerasan seksual sepanjang karir jurnalistik mereka.
Bentuk kekerasan seksual ini beragam seperti pelecehan atau gangguan seksual dan serangan seksual, dari semuanya terbanyak itu adalah body shaming (luring) sebesar 58,9 persen, catcalling (luring) sebesar 51,4 persen, body shaming (daring) 48,6 persen, menerima pesan teks/audio visual yang bersifat seksual (daring) sebesar 37,2 persen, sentuhan fisik bersifat seksual yang tidak diinginkan (luring) sebesar 36,3 persen, komentar kasar dan menghina bersifat seksual (luring) sebesar 36 persen, diperlihatkan pesan teks/audio visual bersifat seksual dan eksplisit (luring) 27,2 persen, dipaksa menyentuh/melayani keinginan seksual pelaku (luring) sebesar 4,8 persen dan dipaksa melakukan hubungan seksual (luring) sebesar 2,6 persen.
"Riset ini kami lakukan dengan metode survey dan wawancara," kata Nunun sapaan akrab peneliti PR2MEDIA ini.
Langkah pokok SOP kekerasan seksual yang diharapkan ada oleh para jurnalis perempuan sambungnya, pencegahan yaitu sosialisasi kepada semua gender, tidak hanya perempuan. Serta adanya pelatihan fisik atau bela diri.
Selanjutnya, penanganan dan pendampingan korban yang penting itu psikis korban.
Penanganan tidak hanya melibatkan internal tetapi juga LBH APIK, Komnas Perempuan dan lain-lain.
Dan Pemulihan yaitu adalah konseling rutin dengan profesional.
Menurutnya, dari perusahaan pers diklasifikasi menjadi dua
ada yang baru membuat SOP kekerasan seksual dan ada yang belum sama sekali karena tidak ada kasus.
Ada juga yang masih tahap pembuatan tapi belum ada petugas divisi kekerasan seksual, semuanya diurus SDM.
Lebih jauh, sudah ada yang memiliki SOP kekerasan seksual dan memiliki divisi khusus penanganan kekerasan seksual. (*)
0 Komentar