Lombok Timur, SK- Perbincangan mengenai perkawinan anak mulai mengemuka setelah lahir Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, namun masih pada kalangan terbatas. Di kampus-kampus, kalangan penegak hukum, kementerian dan LSM pemerhati perempuan dan anak. Perbincangan semakin marak setelah amandemen Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang diikuti kenaikan perkara dispensasi kawin, khususnya di Pengadilan Agama di seluruh Indonesia sekitar 3 kali lipat (300 %) bahkan lebih.
Berdasarkan hal tersebut tentu bahaya perkawinan anak dan kekerasan seksual terhadap anak akan membunuh generasi emas masa depan bangsa dan memang harus di atensi khusus untuk meminimalisir kekerasan seksual dan perlindungan terhadap perempuan.
Di NTB secara khusus juga banyak terjadi kasus-kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan, berdasarkan rilis pada juli 2021 tercatat ada 338 kasus di polres-polres yang ada di pulau Lombok, pada tahun 2017 ada 164 kasus kekerasan seksual ke anak, tahun 2018 meningkat menjadi 177 kasus dan tahun 2019 turun 5 kasus 172 dan sedangkan pada tahun 2020 kembali meningkat 181 kasus kekerasan seksual terhadap anak. Yang dimana di NTB ada lima kabupaten/kota yang masuk terbanyak kasus kekerasan seksual terhadap anak yaitu Kabupaten Lombok Timur, Dompu, Sumbawa, Lombok Tengah dan Kota Mataram. Tercatat di Lombok Timur 132 kasus, Dompu 119, Sumbawa 105, Lombok Tengah 73 dan Kota Mataram 64 kasus.
Sedangkan data Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi NTB, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang melapor dan ditangani di tahun 2021 sebanyak 80 kasus.
Jika dirinci, kasus pelecehan seksual sebanyak 8 kasus, KDRT sebanyak 15 kasus, Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) sebanyak 7 kasus, penelantaran 7 kasus, hak asuh anak sebanyak 6 kasus, perkawinan anak sebanyak 24 kasus, kekerasan psikis sebanyak 7 kasus, kekerasan fisik 1 kasus dan kekerasan lainnya sebanyak 5 kasus.
Angka kasus yang dilaporkan dan ditangani oleh UPTD-PPA selama 2021 ini memang sedikit menurun jika dibandingkan dengan kasus yang muncul tahun 2020 yang berjumlah 83 kasus. Jika di tahun 2020 kasus perkawinan anak dilaporkan sebanyak 5 kasus, namun di tahun 2021 naik signifikan menjadi 24 kasus. Begitu juga KDRT di tahun 2020 yang dilaporkan dan ditangani sebanyak 10 kasus, naik menjadi 15 kasus di 2021.
Berangkat dari itu, pemerintah NTB sudah mengeluarkan PERDA Provinsi NTB Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pencegahan Perkawinan Anak yang dimana anak adalah anugrah dan amanah dati Tuhan yang maha ESA sebagai tunas dan generasi penerus bangsa yang memiliki hak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi yang harus dijamin pemenuhan haknya oleh negara.
Bahwa perkawinan anak di Provinsi NTB menunjukkan peningkatan jumlah dan akan menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak, gangguan kesehatan reproduksi, resiko kematian ibu dan anak. Sehingga dalam rangka melindungi hak-hak anak dan sebagai pihak yang berkepentingan dalam pencegahan terjadinya perkawinan anak di daerah NTB maka terbitlah suatu PERDA yang mengatur tentang itu, bahwasanya sesuai ketentuan pasal 7 ayat 1 pasal 13, pada ayat 1 dan 2 UU Nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur batas usia minimal perkawinan yaitu menjadi 19 tahun baik Perempuan maupun laki-laki.
Pada BAB I pasal 1 poin 6,7,8,9,10,11,12 sampai dengan poin 25 adalah pemangku kepentingan dan harus dijalani dalam mengupayakan pencegahan perkawinan anak di NTB. Yang dimana pada BAB II Upaya Pencegahan Perkawinan Anak bagian ke satu pasal 5, bagian ke dua Strategi Pencegahan Perkawinan Anak pasal 6, 7, 8,9,10, 11 dan 12.
Berdasarkan rilis yang tertera di atas tercatat di Lombok Timur 132 kasus, dan pada tahun 2021 sampai sekarang ini di Lombok timur kerap terjadi pelecehan seksual terhadap anak dan kekerasan terhadap perempuan, sebagaimana kita ketahui di Lombok timur sudah beberapa kali Polres Lotim mengamankan pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Padahal berdasarkan PERBUP Nomor 41 tahun 2020 tentang Pencegahan Perkawinan Usia Anak sudah ada yang dimana pada pasal 2 poin ke 2 memiliki tujuan yang jelas dan pada BAB II membahas tentang Sasaran dan Ruang Lingkup, dan BAB III tentang Pencegahan Perkawinan Usia Anak pada pasal 4 dijelaskan Pencegahan ini dilakukan oleh Pemerintah daerah, Orang tua Anak, Keluarga, Masyarakat, dan Pemangku kepentingan.
Dimana pada perkawinan usia anak ini dilakukan melalui kegiatan pendampingan sesuai dengan pasal 4 tersebut, pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, sampai dengan 15 berkewajiban semua yang tertera di pasal 4 bertugas untuk tujuan yang sama.
Untuk itu, Lembaga Kajian Kebijakan dan Transparansi (LK2T) berkomitmen untuk menjadi bagian dari pengawal, penginisiasi dan pendukung serta pendorong kebijakan pemerintahan baik di Daerah, Provinsi ataupun Pusat. LK2T yang mayoritas kadernya adalah pemuda yang tergabung dalam beberapa organisasi dan latar belakang mencoba menghimpun dan bergerak untuk mendorong adanya perubahan di Indonesia khususnya daerah Lombok Timur.
“Aturan yang sudah ada namun belum maksimal dijalankan dikarenakan masih kurang tersosilaisakian dengan masif hingga ke lapisan masyarakat lombok timur,” kata Amelia Karunia AR.
Untuk itu, kami yang tergabung dalam Lembaga ini siap berkomitmen untuk berkolaborasi dalam upaya mensosialisasikan hal tersebut kesemua lapisan masyarakat. Itulah yang selalu menjadi bahan bakar kepercayaan kami, bahwa pemuda bisa mendorong perubahan.
Menurutnya, gerakan ini bertujuan untuk menempatkan masyarakat baik laki-laki atau perempuan, pemangku kepentingan diberbagai tingkatan dan juga beberapa Dinas terkait sebagaimana yang dijelaskan dalam Perda Provinsi NTB Nomor 05 Tahun 2021 dan Perbup Nomor 41 Tahun 2020 untuk sama-sama saling mensinergikan gerakan Kampanye Anti Perkawinan Anak dan Kekerasan Seksual guna menekan angka penurunan kasus perkawinan anak dan kekerasan seksual menuju Kabupaten Layak Anak.
“Gerakan ini sebagai gerakan yang bersifat preventif, pencegahan, penanganan dan pemberdayaan,” tukasnya
Ini tentu sebuah problematika tidak serta merta terjadi dalam waktu dan tempo yang instan, kata dia, melainkan terangkai dalam sebuah konflik berkesinambungan yang terus menerus terulang. Sehingga, sebelum adanya korban atau konflik hal utama yang perlu dilakukan adalah pencegahan/preventif, bahwasanya kita sudah bisa melihat adanya indikasi-indikasi di masyarakat kita yang belum sepenuhnya ‘Melek Gender’.
Upaya ini dilakukan untuk meminimalisir adanya konflik-konflik bias gender yang akan terjadi di masyarakat. Untuk menyelesaikan sebuah problematika hal utama yang harus dipangkas bukan dalam penanganan korban melainkan permasalahan yang paling fundamental yaitu mindset di masyarakat tentang perkawinan anak dan kekerasan seksual. (*)
Penulis : Amelia Karunia AR
0 Komentar