Sudah merupakan hal
yang nyaris menjadi pemahaman standar setiap orang yang berakal sehat bahwa
setiap manusia betapa, di mana, dan bagaimanapun keadaannya seperti para
penyandang disabilitas (PD), tidak lain adalah makhluk yang paling tinggi dan
mulia kedudukannya di antara ciptaan Tuhan lainnya.
Namun sungguh amat
disesalkan karena sejak negeri ini merdeka di tahun 1945 hingga memasuki
pemerintahan di Orde Baru, bahkan disaat kita tengah menggulirkan dan menikmati
euforia kebebasan di era reformasi dan demokratisasi ini, kondisi kehidupan PD
Indonesia secara umum masih diwarnai dengan berbagai stereotype, prejudice dan
diskriminatif.
Fenomena diskriminasi
dan marjinalisasi PD ini banyak kita jumpai hampir di seluruh negara di penjuru
dunia. Tidak terkecuali di Indonesia seperti di Lombok ini, Paradigma
diskriminasi dan marjinalisasi PD tampak jelas baik pada kasus penyia-nyiaan,
penelantaran dan eksploitasi PD, juga dapat terlihat Marjinalisasi Hak Politik
Penyandang Disabilitas.
Apakah para Disabilatas ini bukan manusia ? Apakah mereka tidak punya hak seperti mereka yang sempurna fisiknya ?
Sungguh sangat miris,
para penyelenggara di negara ini cenderung berpandangan stereotype dan
prejudice terhadap eksistensi PD dengan segala hak yang melekat padanya. Seharusnya
KPU maupun Panwaslu sebagai pihak yang berwenang mengakomodasi aspek
penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak politik PD sebagai pendewaan yang
amat luar biasa terhadap UU penyelenggaraan Pemilu sebagai rujukan tunggal.
Akan tetapi mereka
seolah-olah lupa jika di samping peraturan hukum tentang penyelenggaraan
Pemilu, juga terdapat peraturan hukum yang secara eksplisit menjamin penghormatan,
perlindungan dan pemenuhan hak PD dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat sebagaimana yang tertuang pada UU Nomor 4 Tahun 1997 Tentang PD,
Juncto UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM beserta sederet Peraturan
perundang-undangan lainnya.
Ketentuan mengenai hak
politik warga negara juga bisa kita lihat dalam UUD 1945. Pasal 27 ayat 1,
yaitu : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya.”
Selain itu juga Penegasan
konstitusi hak politik warga negara, tertuang dalam Undang-Undang No.39 tahun
1999 tentang HAM khusus Pasal 43 Ayat 1 yakni : “Setiap warga negara berhak untuk
dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui
pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Dari sini kita bisa
memahami bahwa hak politik warga negara dijamin oleh konstitusi dan peraturan
hukum di Indonesia, bukan hanya untuk orang sempurna fisik saja akan tetapi
teman-teman, sahabat kita yang kurang juga berhak ikut terlibat, karena Pemilu
sebagai pesta demokrasi memang harus melibatkan semua elemen warga negara tanpa
terkecuali. Sebab sangat disadari bahwa salah satu indikator penyelenggaraan
Pemilu yang berkualitas adalah unsur partisipasi masyarakat.
Perlu
ditekankan, negara tidaklah memberikan fasilitas kepada penyandang disabilitas
karena belas kasihan, melainkan hak, sehingga penerapan hak-hak ini harus
diterapkan secara akuntabel. Karena itu, Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945
mengenai hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, juga berlaku secara mutlak
untuk penyandang disabilitas. (Lie)
0 Komentar