Ticker

6/recent/ticker-posts

Ad Code

Responsive Advertisement

Penikmat Dana Desa, Rakyat Atau Pejabat?

Lombok Timur. SK_Euforia tahun 2015 menyambut dana nyata. Yakni Dana Desa/ DD yang dikelola oleh desa hanya isapan jempol semata. Pasalnya, DD hingga 2019 ini diduga dinikmati oleh oknum elit pemerintah desa saja.

Hal ini dapat dibuktikan masih banyaknya masyarakat miskin pedesaan, buruh tani, nelayan dan buruh migran belum ada perhatian secara serius dari dana desa. Apalagi perhatian lebih bagi kaum disabilitas dan kelompok termarjinalkan.

Gawe musyawarah dusun/ Musdus dan musyawarah desa/ Musdes hanya omong kosong belaka. Fakta di lapangan, hasil musyawarah hanya setingan para elit politik desa. Ini bisa dilihat, dari kehadiran peserta rapat di desa. Bak perpaduan suara antar pemerintah desa dengan lembaga lainya. Secara serentak terdengar nyayikan lagu setuju. Nyaris, tak ada suara sumbang yang menghalau   rencana raja kecil di desa itu.

Kesepakatan itu mulus dan mendominasi program pembangunan infrastruktur. Keyakinan mereka, bahwa eksekusi pembangunan rabat beton, jalan, parit dan pembangunan lainya lebih cepat mendapatkan sisa anggaran alias keuntungan. Belum lagi para pemangku mendapatkan bonus dari suplayer pengadaan barang. Barang tentu juga sebagai indikasi kasus gratifikasi.

Kasus demi kasus terus bermunculan, oknum kades tersandung korupsi dan berhadapan dengan hukum. Sebagian diponis bersalah dan tinggal di jeruji besi. Bagaiman dengan oknum lain, saya kira masih menunggu antrean pidana.

Pada dasarnya Dana Desa yang digelontorkan pemerintah pusat sejatinya untuk kepentingan rakyat. Namun ini semua belum sepenuhnya dinikmati dan dirasakan.

Kita lantas bertanya apakah DD benar-benar memiliki dampak bagi pekerja miskin di pedesaan. Menurut pemerintah pusat, DD dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan di desa melalui pembangunan infrastruktur sebagai fokus utama, meski secara retorik tidak mengabaikan aspek pemberdayaan dan inovasi sosial ekonomi lainnya.

Jika DD yang cukup besar ini, tidak ada inovasi pengelola untuk kemandirian desa maka celakalah. Sebab niat alokasi DD untuk kepentingan rakyat secara berkesinambungan. Bukan kepentingan oknum elit pemerintah desa.

Untuk mengetahui secara rinci dugaan, siapa yang banyak menikmati DD? Apakah rakyat menikmatinya secara utuh, ataukah para pejabat dan koleganya? Berikut ini penjelasan modus penyalahgunaan anggaran desa.

Menurut kajian Indonesia Coruption World/ ICW adanya modus penyalahgunaan anggaran atau perilaku korup yang dilakukan oleh oknum elite desa sebagai berikut.

Membuat rancangan anggaran biaya di atas harga pasar. Ini bisa diantisipasi jika pengadaan dilakukan secara terbuka dan menggunakan potensi lokal desa. Misalnya, pengadaan bahan bangunan di toko bangunan yang ada di desa sehingga bisa melakukan cek bersama mengenai kepastian biaya atau harga-harga barang yang dibutuhkan.

Mempertanggungjawabkan pembiayaan bangunan fisik dengan dana desa padahal proyek tersebut bersumber dari sumber lain. Modus ini hanya bisa terlihat jika pengawas memahami alokasi pendanaan oleh desa. Modus seperti ini banyak dilakukan karea relatif tersembunyi. Karena itulah APBDes arus terbuka agar seluruh warga bisa melakukan pengawasan atasnya.

Meminjam sementara dana desa untuk kepentingan pribadi namun tidak dikembalikan. Ini juga sangat banyak terjadi, dari mulai kepentingan pribadi hingga untuk membayar biaya S2. Budaya ewuh-prakewuh di desa menjadi salahsatu penghamat pada kasus seperti ini sehingga sulit di antisipasi.

Pungutan atau pemotongan dana desa oleh oknum pejabat kecamatan atau kabupaten. Ini jua banyak terjadi dengan beragam alasan. Perangkat desa tak boleh ragu untuk melaporkan kasus seperti ini karena desa-lah yang paling dirugikan.

Membuat perjalanan dinas fiktif kepala desa dan jajarannya. Banyak kasus perjalanan untuk pelatihan dan sebagainya ternyata lebih ditujukan utuk pelesiran saja.

Pengelembungan (mark up) pembayaran honorarium perangkat desa. Jika modus ini lolos maka para perangkat desa yang honornya digelembungkan seharusnya melaporkan kasus seperti ini. Soalnya jika tidak, itu sama saja mereka dianggap mencicipi uang haram itu

Pengelembungan (mark up) pembayaran alat tulis kantor. Ini bia dilihat secara fisik tetapi harus pula paham apa saja alokasi yang telah disusun.

Memungut pajak atau retribusi desa namun hasil pungutan tidak disetorkan ke kas desa atau kantor pajak. Pengawas harus memahami alur dana menyangkut pendapatan dari sektor pajak ini.

Pembelian inventaris kantor dengan dana desa namun peruntukkan secara pribadi. Lagi-lagi ewuh prakewuh menjadi salahsatu penghambat kasus seperti ini sehingga seringkali terjadi pembiaran

Pemangkasan anggaran publik kemudian dialokasikan untuk kepentingan perangkat desa. Publik harus tahu alokasi pendanaan dana des agar kasus ini tidak perlu terjadi

Melakukan permainan (kongkalingkong) dalam proyek yang didanai dana desa. Bisa ditelusuri sejak dilakukannya Musyawarah Desa dan aturan mengenai larangan menggunakan jasa kontraktor dari luar.

Membuat kegiatan atau proyek fiktif yang dananya dibebankan dari dana desa.

Opini
Penulis: Hajad Guna Roasmadi

Posting Komentar

1 Komentar

Lensa Nussa mengatakan…
Ada juga kades yang menjadi penyetok barang Sendiri di tokonya sendiri.

Ad Code

Responsive Advertisement