Lombok Timur. SK_ Masyarakat Desa Karang Baru, Kecamatan
Wanasaba, kabupaten Lombok Timur para penghuni desa ini sangat homogen, tidak
ada perbedaan suku, adat dan agama. Dalam hal adat dan budaya, kondisi
masyarakat saat ini sudah mulai meninggalkan tradisi lama sebagai danpak dari
era globalisasi.
Dalam pengelolaan
sumber daya alam, ada beberapa tradisi yang bisa dijelaskan, antara lain;
tradisi “Nyelamet Aik”. Ritual nyelamet aik dilakukan pada setiap musim
kemarau. Tradisi ini dilatarbelakangi oleh adanya keyakinan masyarakat bahwa
semakin mengecilnya debit mata air pada
setiap musim panas karena ditutup oleh penjaga (diyakini pada setiap mata air
ada jin sebagai penjaganya). Hal ini
dilakukan karena penjaganya menginginkan tumbal berupa kepala kerbau. Atas
latar belakang inilah kemudian pada setiap musim kemarau dilakukan ritual
Nyelamet Aik dengan memotong seekor Kerbau untuk dipersembahkan kepada penjaga
tersebut.
Selain itu, ada juga
istilah “Bebangar”. Hal ini dilakukan ketika akan memulai melakukan olah lahan
atau istilah masyarakat setempat adalah “Nggaro”. Bentuk ritualnya adalah
sebelum lahan mulai dibajak terlebih dahulu harus dikasih “bangar” oleh mangku
dengan menancapkan daun jarak pagar yang sudah ditetesi darah ayam. Fungsi “bangar”
tersebut adalah agar tenaga yang sedang bekerja mengolah lahan tidak diganggu
oleh penjaga bumi.
Ritual “Bebangar”
juga dlakukan pada beberapa kegiatan, misalnya ketika memulai membangun rumah.
Dalam kegiatan ini ada namanya “Ngeruak” ( mengali fondasi bangunan), sebelum
kegiatan tesebut dilakukan terlebih
dahulu dibangar oleh mangku. Bentuk ritualnya sama dengan ketika memulai olah
lahan, bedanya adalah kalau Ngeruak Bangar yang digunakan adalah daun Aren yang
masih muda.
Lain lagi bentuk
ritualnya ketika memulai menggunakan rumah baru, dalam hal ini masyarakat
menyebutnya dengan istilah “Ngebangin Bale”. Bentuk ritualnya berupa tahlilan,
namun sebelumnya didahului dengan “Ngebang”
atau azan bersama di dalam rumah yang akan ditempati.
Dalam berintraksi
social, pada umunya mereka masih
memegang teguh prinsisp gotong royong dan saling tolong menolong diantara
warga. Hal ini dapat dilihat dari tradisi yang dilakukan. Misalnya “ Rujung/Langar”,
dilakukan jika ada warga yang meninggal dan mengadakan acara selamatan atau
regawe. Bentuk kegiatanya adalah warga memberikan sumbangan dana atau beras
bagi keluarga yang mendapatkan musibah kematian atau yang mengadakan regawe.
Tradisi lainya adalah
“Besiru dan jimpitan”. Besiru adalah bentuk gotong royong yang mana dalam
pelaksanaanya masyarakat bergantian saling membantu. Misalnya, ketika musim
hujan, warga biasanya focus berladang atau “ Ngerau”. Dalam membersihkan lahan,
mulai penanaman samapai panen atau “Matak” warga saling bantu secara bergantian
tanpa diupah tetapi pemilik hanya menyediakan konsumsi.
Selanjutnya adalah “Jimpitan”,
yaitu upaya pengumpulan sumber daya secara sukarela. Bentuk kegiatanya adalah
pada setiap rumah tangga wajib menaruh bamboo yang nantinya diisi dengan
menyisihkan minimal satu sendok beras pada setiap kali memasak. Kemudian
setelah satu minggu ada petugas datang mengambil beras tersebut, lalu
dikumpulkan sebagai biaya pembangunan sarana ibadah dan fasilitas public lainnya.
Dalam
menghadapi musim paceklik, masyarakat Desa Karang Baru dahulu memiliki cara
sendiri. Misalnya hasil panen, dahulu tidak langsung dijual, akan tetapi
ditabung dengan cara menyimpannya di lumbung. Begitu juga jika mereka memiliki
kelebihan uang, biasanya sebagianya disimpan atau “Meceleng” di dalam lubang
bamboo atau istilah setempatnya “ Kekelok”. Selain menggunakan benda tersebut
ada juga yang dibuat dari tanah liat yang disebut “ Pecelengan”.
0 Komentar