Suela. SK_Desa Sapit merupakan desa yang memiliki keunikan tersendiri dalam
kerangka adat istiadatnya. Salah satunya ritual adat dalam pengelolaan
sumber daya alam dan ritual adat dalam tata interaksi social.
Ritual adat dalam pengelolaan sumber daya alam terdiri dari ritual adat dalam tata produksi sumber daya alam, tata distribusi serta ritual adat dalam tata konsumsi.
Dalam hal pengelolaan sumber daya alam, masyarakat Desa Sapit
memiliki cara yang cukup menarik. Masyarakat akan mengelola sumber daya alam maka harus mendapat izin dan meminta petunjuk Mangku.
Mangku gawar, yaitu orang yang dituakan dalam bidang kehutanan. Misalnya ketika ingin memasuki hutan, terlebih dahulu harus meminta ijin kepada Mangku Gawar (pemangku hutan). Mangku melakukan permohonan kepada “penghuni” hutan menggunakan andang-andang (sesajen), dibarengi dengan bacaan mantra (do’a-do’a).
Lain lagi tata caranya jika akan menebang kayu, sebelum menebang, kayu yang akan ditebang terlebih dahulu harus diikat menggunakan ilalang, selanjutnya jika ikatan ilalang/bangar terbuka dalam waktu 3 hari, maka kayu itu tidak boleh ditebang oleh masyrakat, tetapi jika sebaliknya maka kayu tersebut dapat ditebang.
Begutu pula halnya dengan orang yang akan menebang, terlebih dahulu harus disembeq (dibacakan jampi-jampi) oleh pemangku sembari menunggu reaksi bangar yang diikatakan pada pohon kayu.
Cara seperti ini dahulu sangat dipatuhi oleh masyarakat, sehingga siapapun tidak bisa sembarangan masuk hutan apalagi menebang kayu. Seandainya nilai – nilai local semacam ini masih dipegang teguh oleh masyarakat sekarang ini mungkin kealamiahan hutan dahulu masih bisa kita lihat sampai sekarang.
Selain mangku gawar ada juga mangku gubuk, yaitu orang yang dituakan dalam urusan aktivitas masyarakat yang terkait dengan pemanfaatan, baik air bersih ataupun untuk irigasi serta bercocok tanam. Sebagai contoh, apabila masyarakat akan memulai bercocok tanam terlebih dahulu harus atas petunjuk mangku gubug. Praktek seperti ini sampai saat ini masih diterapkan oleh masyarakat.
Dalam tata distribusi, pada sejarahnya hasil panen disimpan di lumbung. Pada setiap musim panen atau istilah masyarakat Sapit dahulu disebut “ matak” hasilnya tidak langsung dijual, namun disimpan di lumbung untuk persiapan di musim paceklik. Namun, seiring dengan perkembangan zaman yang penuh dengan budaya materialistic dan instan, kebiasaan semacam ini sudah hilang pada masa sekarang. Petani cenderung sangat pragmatis dalam pemanfaatan hasil panen.
Berukutnya adalah bentuk adat dalam tata konsusmsi. Pada sejarahnya dahulu masyarakat Desa Sapit sudah pasti memiliki tata cara tersendiri dalam memanfaatkan hasil panenya yang sekarang ini sudah hilang. Oleh karena itu perlu ada kajian historis secara mendalam yang minimal bisa menjadi bahan ingatan bagi generasi yang akan mendatang.
Selanjutnya dalam tata intraksi social juga memiliki beragam bentuk, seperti Besiru. Bentuknya adalah bergantian saling menolong. Selain itu ada juga langar, selametan aiq, sawinih, lumbung, bebangar, sorong serah, nyelabar, nyongkolan, begawe dan roah, ngebangin bale,besembeq, pelayaran , dan lain-lain.
Saat ini, beberapa diantaranya telah hilang seperti jimpitan, lumbung, dan beberapa lainnya terutama yang bernuansa sosial. Kebiasaan yang tersisa saat ini adalah yang bersifat materialis, dimana hampir segala hal diukur dengan materi, sehingga yang terjadi adalah persaingan hidup yang jauh dari nilai – nilai kearifan local. Misalnya, dahulu sebagai gaji atau imbalan jasa yang diberikan petani kepada pekaseh adalah berupa material hasil panen. Tetapi sekarang hampir semuanya tergantikan dengan uang.
Ritual adat dalam pengelolaan sumber daya alam terdiri dari ritual adat dalam tata produksi sumber daya alam, tata distribusi serta ritual adat dalam tata konsumsi.
Dalam hal pengelolaan sumber daya alam, masyarakat Desa Sapit
memiliki cara yang cukup menarik. Masyarakat akan mengelola sumber daya alam maka harus mendapat izin dan meminta petunjuk Mangku.
Mangku gawar, yaitu orang yang dituakan dalam bidang kehutanan. Misalnya ketika ingin memasuki hutan, terlebih dahulu harus meminta ijin kepada Mangku Gawar (pemangku hutan). Mangku melakukan permohonan kepada “penghuni” hutan menggunakan andang-andang (sesajen), dibarengi dengan bacaan mantra (do’a-do’a).
Lain lagi tata caranya jika akan menebang kayu, sebelum menebang, kayu yang akan ditebang terlebih dahulu harus diikat menggunakan ilalang, selanjutnya jika ikatan ilalang/bangar terbuka dalam waktu 3 hari, maka kayu itu tidak boleh ditebang oleh masyrakat, tetapi jika sebaliknya maka kayu tersebut dapat ditebang.
Begutu pula halnya dengan orang yang akan menebang, terlebih dahulu harus disembeq (dibacakan jampi-jampi) oleh pemangku sembari menunggu reaksi bangar yang diikatakan pada pohon kayu.
Cara seperti ini dahulu sangat dipatuhi oleh masyarakat, sehingga siapapun tidak bisa sembarangan masuk hutan apalagi menebang kayu. Seandainya nilai – nilai local semacam ini masih dipegang teguh oleh masyarakat sekarang ini mungkin kealamiahan hutan dahulu masih bisa kita lihat sampai sekarang.
Selain mangku gawar ada juga mangku gubuk, yaitu orang yang dituakan dalam urusan aktivitas masyarakat yang terkait dengan pemanfaatan, baik air bersih ataupun untuk irigasi serta bercocok tanam. Sebagai contoh, apabila masyarakat akan memulai bercocok tanam terlebih dahulu harus atas petunjuk mangku gubug. Praktek seperti ini sampai saat ini masih diterapkan oleh masyarakat.
Dalam tata distribusi, pada sejarahnya hasil panen disimpan di lumbung. Pada setiap musim panen atau istilah masyarakat Sapit dahulu disebut “ matak” hasilnya tidak langsung dijual, namun disimpan di lumbung untuk persiapan di musim paceklik. Namun, seiring dengan perkembangan zaman yang penuh dengan budaya materialistic dan instan, kebiasaan semacam ini sudah hilang pada masa sekarang. Petani cenderung sangat pragmatis dalam pemanfaatan hasil panen.
Berukutnya adalah bentuk adat dalam tata konsusmsi. Pada sejarahnya dahulu masyarakat Desa Sapit sudah pasti memiliki tata cara tersendiri dalam memanfaatkan hasil panenya yang sekarang ini sudah hilang. Oleh karena itu perlu ada kajian historis secara mendalam yang minimal bisa menjadi bahan ingatan bagi generasi yang akan mendatang.
Selanjutnya dalam tata intraksi social juga memiliki beragam bentuk, seperti Besiru. Bentuknya adalah bergantian saling menolong. Selain itu ada juga langar, selametan aiq, sawinih, lumbung, bebangar, sorong serah, nyelabar, nyongkolan, begawe dan roah, ngebangin bale,besembeq, pelayaran , dan lain-lain.
Saat ini, beberapa diantaranya telah hilang seperti jimpitan, lumbung, dan beberapa lainnya terutama yang bernuansa sosial. Kebiasaan yang tersisa saat ini adalah yang bersifat materialis, dimana hampir segala hal diukur dengan materi, sehingga yang terjadi adalah persaingan hidup yang jauh dari nilai – nilai kearifan local. Misalnya, dahulu sebagai gaji atau imbalan jasa yang diberikan petani kepada pekaseh adalah berupa material hasil panen. Tetapi sekarang hampir semuanya tergantikan dengan uang.
0 Komentar