Berawal dari keprihatinan beberapa pemuda, yang melihat puluhan anak terlantar di dusun Montong Gedeng Desa Ketangga Kecamatan Suela Kabupaten Lombok Timur, terbetiklah niat suci untuk mendirikan sebuah sanggar sebagai tempat anak dan remaja berkreasi dan mengasah keterampilan dan kemampuan yang dimiliki.
Olor adalah berasal dari bahasa Sasak yang berarti parit, dan chetok artinya tidak memiliki hulu dan hilir. “Olor Chetoq” nama inilah yang disepakati oleh para pendiri sanggar ini pada tahun 1999 lalu. Ini dikarenakan, sanggar Olor Chetoq terletak didekat sebuah parit yang konon dulunya tiada berhulu dan berhilir.
“Nama ini kami ambil karena sesuai dengan tempat berdirinya Sanggar ini, yaitu terletak didekat parit, dan awalnya bergerak dibidang seni musik dan budaya rudat kontomporer”, kata sekertaris Sanggar Olor Chetoq, Hajad Guna Roasmadi, ketika ditemui dikediamannya 15/2/13 di dusun Montong Gedeng.
Hajad Guna Roasmadi yang panggilan bekennya Eros ini mengatakan, Sanggar Olor Chetoq didirikan oleh beberapa pemuda setempat diantaranya, Edi, Usup, Omang dan Eros, karena prihatin melihat banyaknya anak dan remaja yang disekeliling mereka terlantar. “Untuk mengumpulkan dan mendidik mereka kita perlu sebuah wadah, sehingga pada tahun 1999 ini kita dirikan Sanggar ini”, jelas Eros.
Wadah apapun namanya tentu membutuhkan pendanaan, termasuk Sanggar Olor Chetok yang dihajatkan sebagai tempat olah kreasi dan keterampilan anak dan remaja terlantar. Karenanya, untuk mengumpulkan dana, para pendiri melakukan ngamen dari kampung ke kampung dengan menggunakan alat musik yang cukup sederhana. Hasil dari ngamen ini selain digunakan untuk membeli peralatan musik, juga sebagai biaya pendidikan bagi anak-anak terlantar yang dibinanya.
Sungguh mulia apa yang dilakukan oleh para pemuda dusun Montong Gedeng ini, yang mau peduli akan kehidupan anak-anak sekitarnya, kendati kehidupan para pendirinya ini tidak jauh beda dengan warga sekelilingnya. “Kami memang hidup serba kekurangan dan tidak beda dengan para remaja dan anak-anak yang kami bina. Namun dengan bekerjasama apapun yang menjadi cita-cita kita suatu saat pasti terwujud”, kata Eros yang juga penyiar Rakom Ninanta ini.
Dalam kelompok sanggar Olor Chetoq, berbagai kegiatan dilakukan seperti membuka usaha kecil dengan menjajakan dagangan makanan ringat, pelatihan menjahit, sanggar teater, live skill dan pelatihan siaran di Rakom Ninanta. “Beberapa kegiatan yang kami lakukan ini, didukung oleh beberarapa lembaga swadaya, seperti yayasan Gagas NTB dan yayasan Santiri”, jelas Eros yang juga bekerja sebagai pewarta rumahalir.or.id untuk Lombok Timur.
“Berat sama dipikul ringan sama dijinjing,”. Pribahasa ini diaktualisasikan dalam anggota sanggar Olor Chetoq dalam bentuk saling bantu membantu, seperti bila ada anggotanya yang sakit, maka masing-masing mereka akan mengeluarkan dana sebesar Rp. 3000. Dan bila anggotanya yang sakit itu dirawat di Puskesmas atau rumah sakit, maka per anggota mengeluarkan Rp. 5000 untuk membantu biaya pengobatan. Dan jika meninggal, maka anggota sanggar Olor Chetoq mengeluarkan dana Rp. 10.000/anggota.
“Ini kami lakukan untuk mengaplikasikan firman Allah dalam Al-Qur’an yang artinya “saling bantu-membantulah kamu dijalan kebaikan dan taqwa dan jangan saling bantu dijalan kejahatan”. Kegiatan ini sudah berjalan puluhan tahun lalu”, kata Eros.
Diytanya jumlah anak dan remaja yang dibinanya, menurut Eros hingga sekarang ini, jumlah anak-anak 50 orang sepentara remaja dan pemuda berjumlah 60 orang, dan semuanya tergabung dalam sanggar Olor Chetok.
Beragam kegiatan sudah, sedang dan akan dilakukan oleh sanggar yang terlatak di dusun Montong Gedeng desa Ketangga Kecamatan Suela Kabupaten Lombok Timur ini. Kendati sudah melakukan berbagai kegiatan, namun tampaknya tidak pernah mendapat bantuan dari pemerintah bahkan dilirikpun tidak. “Selama ini kami tidak pernah dibantu oleh pemerintah baik kabupaten ataupun pemerintah provinsi NTB, kecuali dari beberapa lembaga swadaya yang peduli akan nasip anak-anak dan remaja terlantar”, jelas Eros.
Untuk menuju sanggar ini, pengunjung harus masuk melalui gang kecil yang sudah dirabat beton. Dan tidak jauh dari sanggar ini atau sekitar 100 meter ke arah timur terdapat sebuah masjid bersejarah yang dieknal dengan masjid Pusaka. Dan didalam masjid ini terdapat sebuah batu yang konon berasal dari Bagdad. Dan batu tersebut terletak didepan mimbar masijd dan kini ditutup dengan kaca.
0 Komentar